Yups tulisan ini dibuat best on my story, dan murni dari pendapat pribadi yang aku rasain, dan aku jalanin.
Aku adalah anak perempuan ke-2 di keluargaku, aku punya 1 kakak perempuan dan dua adik perempuan. Kami berempat sama-sama perempuan namun jelas dengan watak, karakter, kepribadian, sifat, kesukaan, hobi, dan perilaku yang berbeda.
Usiaku saat ini 23 tahun, wisuda di awal tahun ini (Februari) namun sampai saat ini (Oktober) aku masih dalam status pengangguran yang memang benar-benar tidak punya pekerjaan dan gaji tetap. Sesekali aku melakukan kerja serabutan jika disuruh ini dan itu akan aku lakukan demi mendapatkan uang walau hanya sekedar untuk jajan jajanan diwarung.
Setelah "boyong" kembali ke kampung halaman orangtuaku menempatkan aku tinggal dirumah kakek dan nenekku sambil mengurusi santri pondok. Aku tak melanjutkan kuliah, walau sebenarnya ingin tapi serasa memang tak mungkin jika melihat keadaan ekonomi keluargaku saat ini yang hutangnya bejibun dimana-mana. Dengan alasan dan keyakinan kuat aku ingin berhenti menyusahkan orangtuaku yang selalu mengeluhkan sulit nya mendapat uang didepan anak-anak mereka, aku memutuskan untuk segera kerja setelah lulus kuliah.
Tapi Tuhan punya cerita lain, orangtuaku memiliki keinginan yang amay sangat besar untuk aku ikut ujian cpns dan aku juga ingin mencobanya, tapi setelah melihat betapa besae harapan dan bayangan orangtuaku khususnya mamah soal aku yang lolos cpns lama lama justru hal itu menjadi beban berat buatku. Aku orangnya memang pemikir, tak bisa menjadi harapan orang lain, suka menyalahkan diri sendiri, mudah frustasi, dan emosi-emosi yang tidak stabil itu semakin aku sering rasakan semenjak kepulanganku ke kampung halaman.
Orangtuaku jelas tidak menganggap masalah kesehatan psikologi dan mental aku dengan serius, yang mereka tau akulah yang keras kepala, akulah yang bebal, akulah yang susah dibilangin, akulah yang hatinya seperti batu, dan akulah yang salah sebagai anak. Hampir setiap malam aku menangis hanya karena merasa frustasi dengan keadaan dirumah yang tidak pernah bersahabat denganku, dengan keadaan yang penuh keharusan, tuntutan, dan harapan. Semakin lama aku tinggal disini maka semakin memburuk keadaan mental dan psikologisku, dan tak ada satu orang pun disini yang peduli. Memang benar kalau ada yang bilang justru keluarga bisa jadi hal paling menyakitkan buat seseorang. Jika aku punya pikiran begini begitu mereka akan menjudge aku kurang ibadah, aku jarang ngaji, aku ga pernah berdo'a, aku jauh dari Tuhan, dan pikiran pikiran mereka lainnya yang menganggap aku adalah negatif dan selalu negatif.
At least aku cuma butuh di dengarkan, didukung, dihargai, di apresiasi, atas semua keputusan dan pencapaian aku sekarang. Tapi pernah gak mereka bilang "kamu maunya apa? Coba dijalanin dan kita akan full support kamu biar kamu berhasil, kalau gagal gapapa nanti dicoba lagi, kan masih ada kita disini yang selalu dukung kamu apapun itu asal kamu bahagia dan berhasil". No, its never. Mereka selalu mengarahkan aku untuk ke jalan A B C dan D tanpa bertanya terlebih dahulu apa keinginanku. Barulah jika aku berontak mereka baru menanyakan "maunya apa, sok" seakan angkat tangan dan ga ada effort atas keputusan aku.
Keluarga ga selalu bisa jadi tempat benar-benar pulang bagi sebagian orang. Sekarang aku punya pacarku yang selalu ada disisiku, yang benar-benar memahami aku lebih dari keluargaku sendiri, setiap detailnya dia lebih paham tentang aku, menjadi satu-satunya rumah yang aku miliki setelah diriku sendiri. Yang selalu support aku atas jalan yang aku mau, yang mendoakan aku atas jalan yang aku tempuh, yang membersamai tiap langkah salah dan benar tapi tak pernah menjudge aku, yang membantu aku jika aku gagal tanpa menyalahkan aku, yang mendengarkan apa mauku tanpa menyuruhku ini itu, yang mengasihi aku tanpa meminta apapun dari aku, sosok laki-laki yang ga pernah aku temuin pada diri mereka yang ada di keluarga aku. Terimakasih karena telah membersamai tiap langkah ini sayang.
Saat menunggu masa cpns yang berbulan-bulan tak kunjung jelas, aku sambi melamar pekerjaan di salah satu perusahaan fintech cabang jogja. aku mengikuti proses ujiannya, wawancaranya, dan lolos untuk masuk tahap training. Tapi disaat yang bersamaan ketika perusahaan memanggil untuk datang ke kantor saat itu juga jadwal tes cpns keluar. Aku diberatkan antara harus melanjutkan apa yang sudah aku perjuangkan sejauh ini atau kembali meninggalkannya dan memilih tes cpns yang atas dasar keinginan orangtuaku dan keinginan banyak orang. Aku benar-benar bingung saat itu, aku ingin mengambil jalanku sendiri namun semua orang ingin aku mengambil jalan lain. Aku harus apa?
Jika aku mengambil jalanku agaknya ridho orangtuaku dan orang-orang sekitarku tidak memihak padaku, namun jika aku mengambil jalan yang mereka inginkan padahal sudah tau hasilnya akupun tidak akan berhasil disitu, dan aku akan kehilangan apa telah aku usahakan selama ini.
Tapi lagi-lagi aku urungkan ambisiku atas ambisi mereka, akupun berangkat ke bandung untuk mengikuti tes cpns. Dengan usaha aku yang kurang untuk cpns ini dan juga hasil ujiannya yang rendah aku memang tak mengharapkan apapun, namun rasanya dipundakku ada beban berat atas harapan dan keinginan banyak orang, yang mereka sama sekali gak pernah akan paham seberat apa pundak aku memikul harapan itu.
Sampai pada saat tes pengumuman hasil ujian cpns sudah keluar, tanpa menduganya lagi aku memang tidak lolos ke tahap selanjutnya. saat itu aku tau bahwa pundak yang tadi memikul beban harapan dari banyak orang mulai tidak mampu lagi menopangnya. Jelas aku menangis, bukan karena aku tidak lolos, tapi karena aku tidak bisa memehuni harapan mereka, malu iya sakit juga iya, seperti ada sesak didada yang menghujam aku bertubi-tubi. Dan disaat terpuruk itu lebih menyakitkannya lagi ketika pacarku, seseorang yang aku anggap sangat mengerti aku, ternyata tidak pada saat itu. Dengan keadaan aku yang seperti ini terjatuhnya dia tidak meminjamkan pundaknya namun memintaku untuk abai dengan semua yang terjadi, sedang dia tahu aku adalah seseorang yang tidak bisa begitu, hanya karena masalah ini dia semakin mendebatku dan membuatku semakin terpukul berkali-kali dan semakin sakit. Kemudian aku harus apa? bersedih dan menangispun salah dimata orang yang mencintaiku, aku hanya bisa menangis dibelakang panggungkah mulai sekarang?
Saat ini aku hanya ingin menghilang dari dunia.
Ingin lari dari semuanya.
Ingin berhenti dari segala hal.
Maaf, aku terlalu rapuh.